AYUUS DAN
SILUUQ BERPISAH SELAMANYA
Pada zaman
dahulu, hiduplah Ayus dan Siluuq. Keduanya merupakan kakak beradik. Ayus
berjenis kelamin laki-laki dan Siluuq adalah perempuan. Ayus suka masuk hutan dan berburu, sedangkan Siluuq adalah seorang petugas
ritual belian. Ayus setiap hari pergi berburu, sedangkan Siluuq pergi mengobati orang meminta
bantuannya dengan ritual belian.
Pada suatu hari Ayus pergi ke hutan untuk berburu dengan membawa seeokor anjing
dan tombak. Setibanya Ayus di dalam hutan, maka anjingnya dengan gesit mengejar
dan menyalak binatang buruannya, yakni babi hutan. Suara anjing menyalak
tersebut seakan memecahkan keheningan rimba belantara. Tidak susah bagi Ayus
dan anjingnya untuk mendapatkan binatang buruan, karena anjingya itu sangat
galak dan buas terhadap binatang buruan yang ditemuinya. Ayus juga memiliki
keahlian untuk menangkap binatang buruannya. Setelah membunuh babi hutan itu,
maka segera dibawanya pulang untuk secepatnya dimasak.
Sesampainya di rumah, maka Ayus langsung mencincang daging babi tersebut,
kemudian Ayus memerintahkan adiknya, Siluuq untuk segera memasak daging babi
tersebut.
”Siluuq …!”, kata Ayus memanggil adiknya. Tolong kamu masak daging
babi ini … !.
“Ah, saya tidak bisa … , kamu saja yang memasak …!, jawab Siluuq tegas dan
ketus.
Lantas Ayus menjawab lagi, “Lho … apa yang membuatmu tampak repot sekali …?
Siluuq menjawab, “Saya harus segera datang ke tempat orang yang sakit, mereka
baru saja datang ke mari minta bantuan saya untuk mengobati keluarganya yang
sakit parah di rumahnya.”
Dengan agak jengkel Ayus menjawab “Setiap hari kerjamu itu-itu saja, pergi
dan pergi terus, tidak pernah betah di rumah dan mengurus kegiatan di rumah
kita ini.”
Namun Siluuq tetap pada pendiriannya, “Pokoknya kamu saja yang memasak daging
babi hutan itu”.
Perdebatan sengit tidak dapat terelakkan lagi antara Ayus dan adiknya. Setelah
Siluuq mendengar kakaknya yang marah-marah, maka ia ingin segera pergi
jauh-jauh dari kakaknya, tetapi kakaknya selalu tidak mengizinkan. Akhirnya
Siluuq berkata kepada Ayus, “Kalau kamu marah-marah terus dengan saya, maka
lebih baik saya pergi dari rumah ini, dan biarlah kita hidup dengan kesibukan
pekerjaan kita masing-masing”.
Dengan perasaan marah sang kakak menjawab, “Tidak bisa … pokoknya kamu tidak
bisa pergi … dari rumah kita ini”. Karena tidak mau ribut, kali ini Siluuq membatalkan kepergiannya, dan mereka
menjadi damai dan tidak bertengkar lagi. Sejak itu, apapun yang mereka kerjakan
selalu bersama-sama, kalau kerjaan itu menyangkut pekerjaan di rumah. Tanpa
disadari oleh Siluuq dan Ayus bahwa kebiasaan-kebiasaan mereka kembali
terulang, yaitu Ayus pergi berburu, sedangkan Siluuq pergi mengobati orang
sakit.
Di suatu pagi yang cerah, Ayus pergi berburu babi hutan yang merusak tanamannya
di ladang malam tadi, dengan membawa satu ekor anjing dan sebuah tombak,
sedangkan Siluuq ditinggalkannya sendirian di rumah. Dalam tempo yang tidak
terlalu lama, Ayus sudah kembali dari hutan dan membawa pulang seekor babi.
Sesampainya di rumah, maka disuruhnya Siluuq untuk memasak daging babi yang
sudah dicincang di hutan tersebut. “Dik, panggilnya, tolong kamu masak
daging babi hutan ini secepatnya, agar kita cepat makan dan tidak membusuk.”
Tetapi apa yang terjadi, ternyata perintah kakaknya itu tidak digubris
sama sekali oleh Siluuq, bahkan dijawab dengan nada semakin menantang suruhan
kakaknya itu kali ini.
Siluq menjawab, “Wah … tidak bisa kak …, karena saya buru-buru pergi mengobati
orang yang sedang sakit keras. Tadi ada orang yang meminta bantuan saya.”
Pokoknya kakak saja yang memasak, karena kakak tidak pergi kemana-mana lagi
bukan?”.
Perdebatan
kali ini juga membuat Siluuq benar-benar kesal mendengar kakaknya
yang selalu marah kepadanya, sehingga membuat Siluuq semakin nekat untuk
pergi
dari rumahnya. Siluuq berkata, “Pokoknya saya harus pergi dari rumah
ini,
karena saya sudah tidak betah tinggal di rumah ini'. Ayus mendengar
omelan adiknya demikian, maka bertambah marah dan tetap melarang
adiknya pergi dari rumah mereka. Ayus berkata, “Tidak bisa … sekali saya
katakan tidak bisa, ya tetap tidak bisa”, bentak Ayus kepada adiknya.
Siluq pun menjawah dengan tegas, “Biar kakak melarang saya untuk pergi, tapi
saya tetap harus pergi. Ini demi kebaikan kita berdua, kalau kakak rindu kepada
saya, maka kakak bisa saja pergi ke tempat saya.”
Meski telah ada penjelasan simpatik dari Siluuq tersebut, namun tetap saja Ayus
melarang adiknya itu pergi, tapi Siluuq kali ini tidak menghiraukan lagi
nasihat dari kakaknya.
Di pagi hari yang cerah, sang mentari menerangi cakrawala, kicau burung
seakan-akan mengiringi kepergian Siluuq, sebab Siluuq memang benar-benar pergi
dari rumah. Segala kebutuhan di perantauan termasuk ayam kesayangannya, tak
luput dibawanya serta, dengan hanya memakai sebuah sampan, Siluuq milir ke
Bilukng Belau. Ayus sang kakak tetap tidak mengizinkan adiknya pergi, sehingga Ayus membuat
batu penghalang di setiap sungai yang akan dilalui oleh Siluuq, tetapi upaya
tersebut tidak membuahkan hasil. Begitu batu penghalang itu selesai diciptakan
oleh Ayus, maka suara kokok ayam Siluuq ternyata sudah berada jauh di sebelah
hilir dari batu penghalang tersebut. Penghadangan demikian telah
banyak dibuat oleh Ayus, agar adiknya tidak dapat pergi, namun semuanya tidak
membawa hasil apa-apa, hingga akhirnya Siluuq sampai ke tujuannya, yaitu
Bilukng Belau.
Akhirnya
Ayus dengan susah payah tiba juga di Bilukng Belau lantaran mengejar
Siluuq, adiknya itu. Ayus dan Siluuq kembali hidup bersama di Bilukng
Belau,
tetapi bukan diartikan sebagai suami dan isteri, tetapi hanya sebatas
hubungan
kakak dengan adik, karena memang mereka bersaudara. Dari sehari, sebulan
bahkan hingga bertahun-tahun mereka hidup dengan tenteram
dan damai. Namun, kebiasaan-kebiasaan mereka yang dulu kembali kambuh
lagi.
Pada suatu hari, Ayus pergi berburu ke dalam hutan belantara dengan seekor
anjingnya. Tak lama lama anjing itu telah menyalak dengan seru sebagai pertanda
bahwa telah ada binatang buruan. Dengan keahlian sang anjing, bahwa binatang
buruan tersebut sudah mati diterkam anjingnya itu, tanpa bantuan Ayus sendiri.
Ayus tinggal mengambil saja bangkai binatang tersebut dan membawa pulang.
Seperti kebiasaanya dulu, Ayus menyuruh adiknya memasak dan selalu
mendapat
sanggahan dari adiknya. Perseteruan kembali terjadi antara kakak-adik
tersebut.
Kali ini Ayus benar-benar marah kepada adiknya, sehingga adiknya itu mau
dibunuhnya pada saat perkelahian tersebut. Ayus berkata dengan geram,
“Lebih baik kamu ini saya bunuh saja daripada saya
mengharapkan kamu, namun kamu selalu tidak mau membantu saya,” ancam
sang
kakak. Siluuq pun menjawab dengan tegar, “Silahkan saja kalau memang
kamu berani
membunuh saya”. Ayus mengambil tombaknya dengan maksud membunuh Siluuq,
tetapi tidak berhasil,
karena Siluuq melawan dan merampas tombak yang dipegang Ayus. Ayus tidak
bisa
berbuat apa-apa lagi, karena semua senjatanya sudah berada dalam tangan
Siluuq. Siluuq sendiri hanya berniat merampas semua senjata dari tangan
kakaknya, bukan
bermaksud membunuh kakaknya. Namun Siluuq melampiaskan kemarahannya
terhadap
anjing kesayangan Ayus. Siluuq menendang anjing tersebut, sehingga
berubah
menjadi makhluk yang suka mengganggu pikiran manusia. Setelah itu Siluuq
menendang babi hasil buruan Ayus yang berubah menjadi pohon bakau. Ayus
hanya
dapat berdiam diri melihat kesaktian adiknya tersebut. Tidak hanya itu
saja yang dilakukan oleh Siluuq, tetapi ia mengusir kakaknya,
agar pulang ke Kampung halaman, yaitu ke Benaliiq, di hulu muara
Sentawar.
Konon kelakuan anjing yang disihir oleh Siluuq tadi, bisa merasuki pikiran
orang, sehingga orang yang tadinya pendiam menjadi nakal. Orang yang patuh
kepada orang tuanya, bisa berubah jadi berani melawan orang tuanya sendiri, dan
masih banyak lagi kelakuan manusia yang aneh-aneh yang berasal dari sihir Siluq
tersebut. “Lebih baik kamu pulang saja ke Benaliiq dan membawa anjing jelekmu itu, karena
anjingmu itu sangat senang merusak pikiran orang.” kata Siluq setelah agak
reda amarahnya. “Biar kamu tidak menyuruh saya pulang, toh saya akan tetap pulang juga,” sambung
Ayus.
Ayus berangkat mudik melalui sungai Mahakam dan singgah sebentar di Kutai Lama.
Di Kutai Lama pada waktu itu telah diadakan Upacara Erau. Ayus mampir di Kutai
Lama dengan maksud hanya menonton saja, akan tetapi Ayus malah ikut ambil
bagian dalam sebuah pertandingan. Pertandingan tersebut adalah pertandingan
yang disebut “Tapi” atau bebintisan atau adu kekuatan kaki. Satu persatu orang
di situ sudah dikalahkan oleh seseorang yang sangat tangguh, sehingga tak
seorang pun lagi yang berani menantangnya. Orang itu mengundang, “Ayo … siapa lagi yang berani menantang saya, maka
silahkan maju … ?” Tak seorangpun di antara penonton di arena itu yang berani
menyambut tawaran tersebut. Ayus merasa jengkel dan kesal melihat kecongkakan orang tersebut. Maka Ayus
berkata, “Tunggu … saya yang akan bertarung dengan anda, seraya Ayus
memukul-mukul dadanya sendiri.” Pertandingan itu dimenangkan oleh Ayus.
Bintisan Ayus menyebabkan kaki pemuda tadi patah dan hancur sehingga pemuda itu
hanya bisa menggelepar-gelepar di tanah. Melihat pemuda tadi telah kalah dan
tidak ada lagi yang bisa melawan Ayus bahkan sebaliknya mereka malah ingin
membunuh Ayus. Jika keinginan membunuh Ayus itu pun gagal, toh mereka sepakat
untuk mengusir Ayus dari Kutai Lama.
Ayuus kemudian mudik ke hulu melalui sungai Mahakam dan singgah di Muara
Pahu,
dan di sinilah Ayus menunjukkan kesaktiannya dengan menancapkan tiang
Lamin
Raden Baroh, sehingga hampir setinggi tiang juga masuk ke dalam tanah.
Dari Muara Pahu, Ayus mudik lagi menuju ke Jelauu, di tempat ini kembali
Ayus
membuat patung yang menyerupai dirinya sendiri yang disebut Batuuq
Sepatukng
Ayus. Dan Ayuus terus mudik sungai Pahu dan sampai ke Jerakng Dasak, di
tempat ini
pula Ayus memperlihatkan kesaktiannya di daerah tersebut, yaitu dengan
memutar
balikan pohon benggeris yang berdiameter delapan depa di situ, sehingga
pohon
benggeris terbalik, dengan daunnya di tanah dan akarnya di sebelah atas.
Ayus hanya sampai di daerah tersebut saja dengan memperlihatkan
kesaktiannya,
dan kemudian kembali milir dan masuk sungai Mahakam menuju tempat
kelahirannya
di Benaliiq di hulu muara sungai Sentawar. Dengan demikian, akhirnya
Ayus dan
Siluuq benar-benar berpisah menjalani kehidupan masing-masing untuk
selama-lamanya.
#Unknow